Tulisan
ini telah dimuat di Harian Radar Sulteng terbitan 07 November 2014 dengan judul
yang berbeda, Edukasi Antrean BBM vs
“BBM”. Sajian tulisan sedikit berubah khususnya pada gaya bahasa tetapi tidak
mengubah makna dari isi tulisan.
Foto: Antrean di SPBU Talise dan "BBM" (dokpri)
Antrean kendaraan di setiap SPBU
telah menjadi pemandangan yang biasa terlihat sejak beberapa pekan terakhir oleh
warga kota Palu. Antrean panjang baik kendaraan roda dua maupun empat di setiap
tempat pengisian BBM (Bahan Bakar Minyak) itu terjadi dipicu oleh berita soal
rencana pemerintah menaikan harga BBM.
Saya
pun beberapa kali ikut dalam antrean panjang hanya sekedar mendapatkan bensin beberapa
liter yang katanya dibatasi penyalurannya di setiap SPBU Kota. Informasi ini saya
dapatkan dari salah satu karyawan SPBU yang berlokasi di Palu Timur yang sempat
saya tanya soal mengapa terjadi kelangkaan BBM di semua SPBU Kota Palu.
Dari
penelusuran saya di media daring, sebenarnya pemerintah sudah mencabut kebijakan
pembatasan BBM bersubsidi sejak akhir bulan Agustus 2014. Bahkan ada SPBU yang
menambah jatah pasokan dari biasanya. Itu artinya penyaluran stok BBM di setiap
SPBU normal dan seharusnya tidak ada pemandangan antrean panjang kendaraan yang
tampak di setiap SPBU. Ada apa di balik semua ini?
Ok, saya memahami keresahan sejumlah
warga kota Palu. Isu kenaikan harga BBM membuat masyarakat mengalami panic buying. Tekanan psikoligis berupa panic buying inilah yang membuat warga membeli secara berulang-ulang BBM untuk
disimpan. Alhasil serbuan warga di SPBU yang memicu antrean panjang tak dapat
dihindari.
Ada hal yang cukup menarik dibalik
isu kenaikan harga BBM. Pemandangan lain selain dari antrean di SPBU adalah
kemunculan sejumlah tempat baru penjualan “BBM” (Bensin Botolan Mahal). “BBM” dijual dengan harga fantastik Rp8000-Rp10000
perbotol. Dalam situasi seperti ini, bisnis “BBM” sangat menggiurkan karena
keuntungan yang diperoleh luar biasa. Sesungguhnya penimbunan “BBM” skala kecil
bisa terjadi di tempat-tempat pengecer “BBM”.
Dari mana “BBM” itu diperoleh warga?
Ya tentu dari SPBU. Saya pernah menyaksikan antrean lain dari kendaraan penjual
“BBM” ini yang terjadi di luar SPBU. Antrean tambahan ini turut menambah antrean
panjang kendaraan BBM yang justru menimbulkan kemacetan ruas jalan. Bahkan
kemacetan yang mengganggu pengguna jalan ini tampak di sejumlah SPBU, seperti
SPBU Mohammad Yamin, SPBU
Sisingamangaraja, SPBU Kartini, SPBU Talise dan SPBU Trans Sulawesi Tondo.
Sekali lagi, saya dapat memahami kemunculan
tempat-tempat baru penjualan eceran “BBM” sebagai bagian dari panic buying. Tempat ini menjadi pilihan
alternatif warga yang ingin membeli “BBM” tanpa harus mengantri atau jika stok
BBM di SPBU habis. Namun yang menjadi persoalan adalah adanya oknum-oknum
tertentu yang berpikiran kapitalis memanfaatkan situasi ini. Pemberitaan di
berbagai media massa tentang penangkapan oknum penimbun BBM skala besar diketahui
karena adanya permainan dengan pihak pengelola SPBU. Permainan kotor ini tentu
sangat merugikan warga. Berapapun pasokan BBM di setiap SPBU tidak akan pernah
cukup untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dampaknya adalah keresahan warga
semakin memuncak.
Pemerintah harus segera mengatasi
persoalan ini. Antrean panjang kendaraan di SPBU harus dilihat sebagai “derita
sosial” masyarakat yang harus segera diakhiri. Panic buying segera dihentikan dengan kepastian pemerintah
menaikkan harga BBM. Menurut saya, presiden Joko Widodo secepatnya menaikan
harga BBM.
Soal terjadinya protes masyarakat
akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM tidak perlu dibesar-besarkan.
Ada dua hal yang menjadi pertimbangan saya mengapa pemerintah tidak perlu
kuatir dengan dampak kenaikan BBM.
Pertama, masyarakat sudah “belajar” dari
efek kelangkaan BBM. Masyarakat memahami bahwa “derita sosial” dari antrean
pembelian BBM yang berkepanjangan merupakan “karma” dari subsidi BBM. Kejadian
ini merupakan edukasi tak langsung bagi masyarakat soal pencabutan subsidi BBM.
Kedua, program nyata dari presiden Joko
Widodo yang pro rakyat kecil, seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu
Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) mudah “dihubungkan” dengan
penghentian subsidi BBM. Ketiga kartu ajaib inilah yang menurut saya dapat mengubah
paradigma masyarakat soal kenaikan BBM dari “menyengsarakan rakyat” menjadi
“menyejahterahkan rakyat”. Yang terpenting adalah pengalihan subsidi BBM harus
tepat sasaran.
Memang saat ini terutama mahasiswa
di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia sedang marak melakukan demo memprotes
kebijakan pemerintah soal rencana kenaikan BBM. Bagi saya melihatnya sebagai
hal yang wajar terjadi di dalam masyarakat. Selalu ada yang setuju dan tidak
setuju ketika ada kebijakan pemerintah yang tidak populis. Ini adalah dinamika
berbangsa dan bernegara dari sebuah negara yang demokratis.
Masyarakat sangat berharap kepada pemerintahan Jokowi-JK segera
mengatasi keresahan masyarakat akibat dampak dari isu rencana kenaikan BBM dan
menjamurnya “BBM”. Sudah saatnya masyarakat bawah menikmati kesejahteraan dari
pengalihan subsidi BBM.
Aris Arianto, Pengajar di SMAN Madani Palu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar