15.10.14

Dibalik Kisah Seikat Bambu Kuning dari Sibalaya



       Ketertarikan saya pada bambu kuning berawal dari peristiwa pelantikan pramuka calon penegak laksana di Bukit Kawatuna beberapa waktu yang lalu. Di acara sakral itulah saya menyaksikan 5 penegak laksana yang baru dilantik memegang erat bambu kuning yang bagian ujungnya yang runcing terikat bendera merah putih kebanggaan bangsa Indonesia. Di tangan mereka yang tampak bergetar, kelima batang bambu kuning itu seakan menyentil nalar saya. Bambu kuning itu seolah sedang membangunkan saya dari tidur panjang.
       Betapa bambu kuning di bagian ujungnya yang runcing terikat bendera merah putih itu memaksa saya untuk mengarahkan pikiran agar fokus pada satu benda yang bersejarah, bambu runcing. 
       Ya..bambu runcing telah menjadi sebuah simbol perlawanan rakyat Indonesia dalam mengusir penjajah. Dan replika bambu runcing itu ada di tangan 5 penegak laksana. Ini adalah momen yang terindah menurut saya. Bagi saya, ini saat yang tepat melakukan “pendalaman” momen yang saya sebut sebagai “meditasi diri” untuk memaknai perjuangan bangsa ini. Untuk apa? Banyak hal yang terkait dengan ini.
Hal yang utama adalah agar diri saya lebih dekat dengan sang pencipta. Selain itu saya bisa belajar menguasai “warna” kehidupan ini utamanya kehidupan anak-anak binaan saya. Dengan begitu Insya Allah mereka bisa menjadi diri mereka sendiri, membangkitkan kepercayaan diri mereka bahwa mereka punya potensi untuk berkembang. Dan itu semua saya bangkitkan melalui pendekatan “meditasi diri.” (Soal ini nanti dibahas di lain waktu….)
Baiklah pembaca, kita tinggalkan saja pembahasan rumit di atas,,,,
Keinginan saya untuk lebih dekat dengan bambu runcing inilah, maka saya melakukan perjalanan ke Sibalaya Utara, sekitar 4O KM dari pusat kota Palu pada Jumat 10 Oktober 2014. Saya ditemani Sahrun, mantan anak binaan saya di pramuka saat masih bertugas di SMAN 2 Sigi Biromaru.
Usai jumatan, kami melaju menuju arah Selatan Kota Palu. Empat puluh menit kemudian tibalah kami di desa Sibowi. Kami menuju pangkalan SMPN 2 Sigi Biromaru tempat anak-anak binaan Kak Asnandar berlatih pramuka. Di sana kami mengabadikan beberapa momen kegiatan latihan anak-anak penggalang.
Sibowi, Pangkalan SMPN 2 Sigi Biromaru
Tiga puluh menit kemudian kami pun meninggalkan SMPN 2 Sigi Biromaru menuju pangkalan latihan anak-anak penegak SMAN 2 Sigi Biromaru di Sibalaya Utara. Di pangkalan itu ternyata sudah menunggu Kak Bur, wakasek bidang kesiswaan. Kami (bersama Kak Asnandar) langsung dipersilakan masuk ke ruang multimedia sekolah itu. Obrolan soal pramuka menjadi topik utama kami. Tak lama kemudian, Kak Hendrik, Kak Sandi, Kak Yuli, Kak Ihsan dan yang lainnya ikut nimbrung bersama. Di temani Ubi rebus plus Tape Ketan buatan Mama Arun (istri Kak Hendrik) menjadikan suasana sore itu sungguh mengasikkan. Tawa canda kami di ruang multimedia seakan beradu dengan hiruk pikuk anak-anak penegak yang sedang berlatih di halaman belakang sekolah itu.
Sibalaya: apel pulang usai latihan di pangkalan SMAN 2 Sigi Biromaru
Dari ruang multimedia, kami menuju ke lapangan latihan. Kami menyaksikan langsung latihan anak-anak penegak yang sore itu di tangani oleh Kak Hendrik. Puas menyaksikan latihan penegak, kami pun meninggalkan pangkalan.
Tujuan berikutnya adalah kediaman Kak Hendrik. Bagian ini tidak bisa dilewatkan karena ini tujuan awal saya ke Sibalaya. Seikat bambu kuning yang dijanjikan Kak Hendrik katanya akan disiapkan di rumahnya untuk dibawa pulang.
Malam hari di rumah Kak Hendrik
Suasana akrab penuh kekeluargaan saat bertemu dengan mantan anak didik saya saat menjadi guru di SMAN 2 Sigi Biromaru membuat saya harus menunda beberapa jam untuk kembali ke Palu. Malam itu Kak Hendrik dan istrinya rela direpotkan oleh kami. Makan malam yang menurut saya sangat spesial itu melengkapi kebahagiaan saya setelah 12 tahun meninggalkan desa ini. Selain lezatnya santapan malam, suasana kumpul bareng dengan anak-anak pramuka di rumah Kak Hendrik itu membawa kesan tersendiri bagi saya.
Saya berpikir, inilah keunikan pramuka. Kekeluargaan dan persahabatan sangat kental di sini. Semuanya mengasikkan.
Usai makan malam, kami ngumpul lagi di halaman depan rumah Kak Hendrik. Tak pelak lagi, Tape Ketan dan Luwak White Coffee sengaja dihidangkan kembali oleh Kak Hendrik untuk menemani cengkerama kami di malam itu.
Tanpa terasa malam bertambah larut. Tibalah saatnya kami berdua harus berpamitan untuk kembali ke Palu. Yang jelas cerita ini akan menjadi kenangan indah melengkapi semua cerita memori saat kami masih seambalan di SMAN 2 Sigi Biromaru.
Delapan jam bersama mereka, tidaklah menjadikan waktu saya sia-sia. Justru delapan jam lebih dekat dengan mereka telah menambah deretan inspirasi dan juga idealisme saya sebagai pembina pramuka. Meskipun hanya sekilas waktu berada di Sibalaya Utara,  namun cerita “seikat bambu kuning” ini tetaplah abadi di relung hati saya.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar