Ketertarikan
saya pada bambu kuning berawal dari peristiwa pelantikan pramuka calon penegak
laksana di Bukit Kawatuna beberapa waktu yang lalu. Di acara sakral itulah saya
menyaksikan 5 penegak laksana yang baru dilantik memegang erat bambu kuning
yang bagian ujungnya yang runcing terikat bendera merah putih kebanggaan bangsa
Indonesia. Di tangan mereka yang tampak bergetar, kelima batang bambu kuning
itu seakan menyentil nalar saya. Bambu kuning itu seolah sedang membangunkan
saya dari tidur panjang.
Betapa
bambu kuning di bagian ujungnya yang runcing terikat bendera merah putih itu
memaksa saya untuk mengarahkan pikiran agar fokus pada satu benda yang
bersejarah, bambu runcing.
Ya..bambu runcing telah menjadi sebuah simbol perlawanan rakyat Indonesia dalam mengusir penjajah. Dan replika bambu runcing itu ada di tangan 5 penegak laksana. Ini adalah momen yang terindah menurut saya. Bagi saya, ini saat yang tepat melakukan “pendalaman” momen yang saya sebut sebagai “meditasi diri” untuk memaknai perjuangan bangsa ini. Untuk apa? Banyak hal yang terkait dengan ini.
Ya..bambu runcing telah menjadi sebuah simbol perlawanan rakyat Indonesia dalam mengusir penjajah. Dan replika bambu runcing itu ada di tangan 5 penegak laksana. Ini adalah momen yang terindah menurut saya. Bagi saya, ini saat yang tepat melakukan “pendalaman” momen yang saya sebut sebagai “meditasi diri” untuk memaknai perjuangan bangsa ini. Untuk apa? Banyak hal yang terkait dengan ini.
Hal yang utama adalah agar diri saya
lebih dekat dengan sang pencipta. Selain itu saya bisa belajar menguasai
“warna” kehidupan ini utamanya kehidupan anak-anak binaan saya. Dengan begitu
Insya Allah mereka bisa menjadi diri mereka sendiri, membangkitkan kepercayaan
diri mereka bahwa mereka punya potensi untuk berkembang. Dan itu semua saya
bangkitkan melalui pendekatan “meditasi diri.” (Soal ini nanti dibahas di lain
waktu….)
Baiklah pembaca, kita tinggalkan saja
pembahasan rumit di atas,,,,
Keinginan saya untuk lebih dekat dengan
bambu runcing inilah, maka saya melakukan perjalanan ke Sibalaya Utara, sekitar
4O KM dari pusat kota Palu pada Jumat 10 Oktober 2014. Saya ditemani Sahrun,
mantan anak binaan saya di pramuka saat masih bertugas di SMAN 2 Sigi Biromaru.
Usai jumatan, kami melaju menuju arah
Selatan Kota Palu. Empat puluh menit kemudian tibalah kami di desa Sibowi. Kami
menuju pangkalan SMPN 2 Sigi Biromaru tempat anak-anak binaan Kak Asnandar
berlatih pramuka. Di sana kami mengabadikan beberapa momen kegiatan latihan
anak-anak penggalang.
Sibowi, Pangkalan SMPN 2 Sigi Biromaru |
Tiga puluh menit kemudian kami pun
meninggalkan SMPN 2 Sigi Biromaru menuju pangkalan latihan anak-anak penegak
SMAN 2 Sigi Biromaru di Sibalaya Utara. Di pangkalan itu ternyata sudah
menunggu Kak Bur, wakasek bidang kesiswaan. Kami (bersama Kak Asnandar)
langsung dipersilakan masuk ke ruang multimedia sekolah itu. Obrolan soal
pramuka menjadi topik utama kami. Tak lama kemudian, Kak Hendrik, Kak Sandi,
Kak Yuli, Kak Ihsan dan yang lainnya ikut nimbrung
bersama. Di temani Ubi rebus plus Tape
Ketan buatan Mama Arun (istri Kak Hendrik) menjadikan suasana sore itu sungguh
mengasikkan. Tawa canda kami di ruang multimedia seakan beradu dengan hiruk
pikuk anak-anak penegak yang sedang berlatih di halaman belakang sekolah itu.
Sibalaya: apel pulang usai latihan di pangkalan SMAN 2 Sigi Biromaru |
Dari ruang multimedia, kami menuju ke
lapangan latihan. Kami menyaksikan langsung latihan anak-anak penegak yang sore
itu di tangani oleh Kak Hendrik. Puas menyaksikan latihan penegak, kami pun
meninggalkan pangkalan.
Tujuan berikutnya adalah kediaman Kak
Hendrik. Bagian ini tidak bisa dilewatkan karena ini tujuan awal saya ke
Sibalaya. Seikat bambu kuning yang dijanjikan Kak Hendrik katanya akan disiapkan
di rumahnya untuk dibawa pulang.
Malam
hari di rumah Kak Hendrik
Suasana akrab penuh kekeluargaan saat
bertemu dengan mantan anak didik saya saat menjadi guru di SMAN 2 Sigi Biromaru
membuat saya harus menunda beberapa jam untuk kembali ke Palu. Malam itu Kak
Hendrik dan istrinya rela direpotkan oleh kami. Makan malam yang menurut saya
sangat spesial itu melengkapi kebahagiaan saya setelah 12 tahun meninggalkan
desa ini. Selain lezatnya santapan malam, suasana kumpul bareng dengan anak-anak pramuka di rumah Kak Hendrik itu membawa
kesan tersendiri bagi saya.
Saya berpikir, inilah keunikan pramuka.
Kekeluargaan dan persahabatan sangat kental di sini. Semuanya mengasikkan.
Usai makan malam, kami ngumpul lagi di halaman depan rumah Kak
Hendrik. Tak pelak lagi, Tape Ketan dan Luwak
White Coffee sengaja dihidangkan kembali oleh Kak Hendrik untuk menemani
cengkerama kami di malam itu.
Tanpa terasa malam bertambah larut.
Tibalah saatnya kami berdua harus berpamitan untuk kembali ke Palu. Yang jelas
cerita ini akan menjadi kenangan indah melengkapi semua cerita memori saat kami
masih seambalan di SMAN 2 Sigi Biromaru.
Delapan jam bersama mereka, tidaklah
menjadikan waktu saya sia-sia. Justru delapan jam lebih dekat dengan mereka
telah menambah deretan inspirasi dan juga idealisme saya sebagai pembina
pramuka. Meskipun hanya sekilas waktu berada di Sibalaya Utara, namun cerita “seikat bambu kuning” ini tetaplah
abadi di relung hati saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar