Tidak dapat
dipungkiri, internet sudah menjadi salah satu media aktraktif yang mempermudah
dan mempercepat penyelesaian tugas-tugas manusia. Bahkan internet dimanfaatkan
untuk menjalankan bisnis, yang dikenal dengan bisnis secara online. Namun,
dalam dunia pendidikan khususnya sebagai media pembelajaran di kelas,
penggunaan internet masih sebatas pada “mencari” dan “menjelajah” informasi
ilmu pengetahuan. Istilah kerennya adalah searching
dan browsing. Aplikasi searching dan browsing yang cukup familiar di kalangan pengguna internet adalah
Google. Saking hebatnya Google sering dijuluki dengan sebutan “Mbah Google”,
karena fungsinya yang luar biasa.
Tidak sedikit siswa
dan guru sudah merasa puas dengan kerja-kerja “Mbah Google”. Guru memanfaatkan
Google hanya sebagai “mesin pencari”, misalnya mencari, mengunduh, mengunggah,
dan menyimpan file-file untuk pembelajaran. Fenomena “Mbah Google” pun terjadi
dalam proses belajar mengajar kelas, siswa diberi tugas, jawabannya cari di
internet lalu kirim ke email. Klaim guru pengguna teknologi informasi dalam
pembelajaran pun terpuaskan.
Dahsyatnya
perkembangan teknologi pembelajaran dan kemampuan siswa yang sangat akrab
dengan teknologi informasi Abad 21 setidaknya “memaksa” guru untuk meninggalkan
paradigma “Mbah Google”. Jangan lupa, guru saat ini sedang berhadapan dengan
siswa digital native, merekalah
penduduk asli dunia maya.
Googler dan Web 2.0
Istilah “Googler”
sebenarnya adalah sebutan bagi karyawan Google. Para karyawan ini betah bekerja
berjam-jam di kantor karena segala fasilitas yang diinginkannya tersedia.
Mereka terus mengembangkan kemampuan Google untuk kenyamanan pengguna internet.
Dalam dunia pendidikan, “Googler” adalah guru yang mampu memaksimalkan “Mbah
Google” dengan memanfaatkan “konten aplikasi” minimal generasi web 2.0 dari
Google itu sendiri, seperti Google Drive dalam pembelajaran kolaboratif,
Google+ untuk sosial media dan lainnya.
Menurut Gwen Solomon
dan Lynne Schrum (2011), Web 2.0 merupakan istilah yang diberikan untuk menggambarkan
generasi kedua dari World Wide Web (WWW) yang difokuskan pada kemampuan orang
untuk berkolaborasi dan berbagi informasi secara online. Web 2.0 memberikan
kesempatan pada guru untuk terhubung, menciptakan, berkolaborasi, dan berbagi
informasi. Sebagai “Googler”, guru harus mampu bekerja dengan alat Web 2.0 yang
terdiri dari alat-alat kolaboratif online dan aplikasinya, seperti weblog,
wiki, Sosial Media, Skype, Google Earth, Wordle, Google Drive, atau lainnya.
Perlu digarisbawahi
bahwa, guru yang mengajar dengan paradigma “Mbah Google”, meskipun memanfaatkan
teknologi mutakhir, seperti internet dengan kecepatan tinggi, masih
diketegorikan dalam pembelajaran pasif di Abad 21. Sebaliknya guru dengan
paradigma “Googler” lebih memaksimalkan teknologi informasi dengan web 2.0
sehingga terjadi pembelajaran aktif-mencari, kritis dan kolaboratif. Dengan
kata lain, guru memaksimalkan kinerja “Mbah Google” lebih dari sekedar “mesin
pencari”.
Sesuai amanat yang
tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 68 dan 69
tahun 2013 tentang struktur kurikulum SMP/MTs dan SMA/MA, bahwa K-13
dikembangkan dengan penyempurnaan pola pikir sebagai berikut: (1) Pola pembelajaran yang berpusat pada
guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta didik; (2) Pola pembelajaran
satu arah (interaksi guru-peserta didik) menjadi pembelajaran interaktif
(interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/media
lainnya); (3) Pola pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran secara jejaring
(peserta didik dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat
dihubungi serta diperoleh melalui internet); (4) Pola pembelajaran pasif
menjadi pembelajaran aktif-mencari; (5) Pola belajar sendiri menjadi belajar
kelompok (berbasis tim); (6) Pola pembelajaran alat tunggal menjadi
pembelajaran berbasis multimedia; (7) Pola pembelajaran berbasis massal menjadi
kebutuhan pelanggan (users) dengan memperkuat pengembangan potensi khusus yang
dimiliki setiap peserta didik; (8) Pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal
(monodisciplin) menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplin);
dan (9) pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran kritis.
Mengacu pada
pengembangan penyempurnaan pola pikir dalam kurikulum 2013, maka perubahan pola
pikir guru adalah sebuah keniscayaan. Perubahan itu menjadi pijakan adaptif
guru dalam tataran metode dan pendekatan mengajar di abad 21 ini. Antisipasi
perubahan pola pikir telah menyulut usaha guru untuk memperbaiki proses
pembelajaran di kelas, termasuk di dalamnya pemanfaatan media pembelajaran yang
lebih aktraktif.
Oleh karena itu,
perubahan paradigma “Mbah Google” menuju paradigma “Googler” yang merupakan
penyempurnaan pola pikir yang dikembangkan dalam K-13 seyogyanya menjadi
indikator dari keberpihakkan seorang guru profesional terhadap peningkatan
potensi peserta didik baik secara individu maupun kelompok dan perbaikan
kualitas pembelajaran di kelas.
Implementasi K-13
yang diberlakukan secara serempak di seluruh sekolah pada tahun pelajaran
2014/2015 merupakan momentum bagi guru untuk melakukan perubahan dalam cara
belajar dan mengajar. Saatnya guru menggeser paradigma “Mbah Google” menjadi
“Googler” untuk mendukung suksesnya implementasi K-13 dalam menyiapkan generasi
emas tahun 2045.
Aris Arianto, Dimuat di Harian Palu Ekspres, 14/6/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar