4.7.14

Guru Menuju Paradigma “Googler”



Tidak dapat dipungkiri, internet sudah menjadi salah satu media aktraktif yang mempermudah dan mempercepat penyelesaian tugas-tugas manusia. Bahkan internet dimanfaatkan untuk menjalankan bisnis, yang dikenal dengan bisnis secara online. Namun, dalam dunia pendidikan khususnya sebagai media pembelajaran di kelas, penggunaan internet masih sebatas pada “mencari” dan “menjelajah” informasi ilmu pengetahuan. Istilah kerennya adalah searching dan browsing. Aplikasi searching dan browsing yang cukup familiar di kalangan pengguna internet adalah Google. Saking hebatnya Google sering dijuluki dengan sebutan “Mbah Google”, karena fungsinya yang luar biasa.
Tidak sedikit siswa dan guru sudah merasa puas dengan kerja-kerja “Mbah Google”. Guru memanfaatkan Google hanya sebagai “mesin pencari”, misalnya mencari, mengunduh, mengunggah, dan menyimpan file-file untuk pembelajaran. Fenomena “Mbah Google” pun terjadi dalam proses belajar mengajar kelas, siswa diberi tugas, jawabannya cari di internet lalu kirim ke email. Klaim guru pengguna teknologi informasi dalam pembelajaran pun terpuaskan.

Dahsyatnya perkembangan teknologi pembelajaran dan kemampuan siswa yang sangat akrab dengan teknologi informasi Abad 21 setidaknya “memaksa” guru untuk meninggalkan paradigma “Mbah Google”. Jangan lupa, guru saat ini sedang berhadapan dengan siswa digital native, merekalah penduduk asli dunia maya.
Googler dan Web 2.0
Istilah “Googler” sebenarnya adalah sebutan bagi karyawan Google. Para karyawan ini betah bekerja berjam-jam di kantor karena segala fasilitas yang diinginkannya tersedia. Mereka terus mengembangkan kemampuan Google untuk kenyamanan pengguna internet. Dalam dunia pendidikan, “Googler” adalah guru yang mampu memaksimalkan “Mbah Google” dengan memanfaatkan “konten aplikasi” minimal generasi web 2.0 dari Google itu sendiri, seperti Google Drive dalam pembelajaran kolaboratif, Google+ untuk sosial media dan lainnya.
Menurut Gwen Solomon dan Lynne Schrum (2011), Web 2.0 merupakan istilah yang diberikan untuk menggambarkan generasi kedua dari World Wide Web (WWW) yang difokuskan pada kemampuan orang untuk berkolaborasi dan berbagi informasi secara online. Web 2.0 memberikan kesempatan pada guru untuk terhubung, menciptakan, berkolaborasi, dan berbagi informasi. Sebagai “Googler”, guru harus mampu bekerja dengan alat Web 2.0 yang terdiri dari alat-alat kolaboratif online dan aplikasinya, seperti weblog, wiki, Sosial Media, Skype, Google Earth, Wordle, Google Drive, atau lainnya.
Perlu digarisbawahi bahwa, guru yang mengajar dengan paradigma “Mbah Google”, meskipun memanfaatkan teknologi mutakhir, seperti internet dengan kecepatan tinggi, masih diketegorikan dalam pembelajaran pasif di Abad 21. Sebaliknya guru dengan paradigma “Googler” lebih memaksimalkan teknologi informasi dengan web 2.0 sehingga terjadi pembelajaran aktif-mencari, kritis dan kolaboratif. Dengan kata lain, guru memaksimalkan kinerja “Mbah Google” lebih dari sekedar “mesin pencari”.
Sesuai amanat yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 68 dan 69 tahun 2013 tentang struktur kurikulum SMP/MTs dan SMA/MA, bahwa K-13 dikembangkan dengan penyempurnaan pola pikir sebagai berikut: (1) Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta didik; (2) Pola pembelajaran satu arah (interaksi guru-peserta didik) menjadi pembelajaran interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/media lainnya); (3) Pola pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran secara jejaring (peserta didik dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet); (4) Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif-mencari; (5) Pola belajar sendiri menjadi belajar kelompok (berbasis tim); (6) Pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis multimedia; (7) Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik; (8) Pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodisciplin) menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplin); dan (9) pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran kritis.
Mengacu pada pengembangan penyempurnaan pola pikir dalam kurikulum 2013, maka perubahan pola pikir guru adalah sebuah keniscayaan. Perubahan itu menjadi pijakan adaptif guru dalam tataran metode dan pendekatan mengajar di abad 21 ini. Antisipasi perubahan pola pikir telah menyulut usaha guru untuk memperbaiki proses pembelajaran di kelas, termasuk di dalamnya pemanfaatan media pembelajaran yang lebih aktraktif.
Oleh karena itu, perubahan paradigma “Mbah Google” menuju paradigma “Googler” yang merupakan penyempurnaan pola pikir yang dikembangkan dalam K-13 seyogyanya menjadi indikator dari keberpihakkan seorang guru profesional terhadap peningkatan potensi peserta didik baik secara individu maupun kelompok dan perbaikan kualitas pembelajaran di kelas.
Implementasi K-13 yang diberlakukan secara serempak di seluruh sekolah pada tahun pelajaran 2014/2015 merupakan momentum bagi guru untuk melakukan perubahan dalam cara belajar dan mengajar. Saatnya guru menggeser paradigma “Mbah Google” menjadi “Googler” untuk mendukung suksesnya implementasi K-13 dalam menyiapkan generasi emas tahun 2045. 

Aris Arianto, Dimuat di Harian Palu Ekspres, 14/6/2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar