Kegagapan Sekolah Menyambut Implementasi K-13
Perjalanan Kurikulum
2013 (K-13) meskipun diawali dengan perdebatan bahkan penolakan, pada akhirnya
semua pihak, mau tidak mau harus menerima keberadaannya. Banyak pihak termasuk para
guru awalnya merasa cemas atau galau akan kehadiran K-13 yang terkesan mendadak
dan “dipaksakan”. Namun, dibalik kecemasan atau kegalauan para guru terselip asa
dan keinginan untuk memotivasi diri menjadi pendidik yang profesional. Interes
guru-guru di sekolah sasaran pengimplementasian, merasa menemukan ladang
kreatifitas sebagai pendidik terutama mereka yang sudah mengikuti sosialisasi
atau pelatihan K-13. Bukan hanya itu, ilmu mendidik yang dipelajari selama
kuliah seolah menemukan ruang eksplorasi intelektual seorang guru dalam proses transfer
pengetahuan kepada peserta didik.
Sementara itu hasil
monitoring dan evaluasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui metode
sensus beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa K-13 terbukti mampu meningkatkan
daya nalar siswa, minat baca, semangat belajar dan mendorong siswa lebih
kreatif dan inovatif. Sehingga tidak ada lagi keraguan sekolah dan guru akan
keampuhan K-13 dalam menyongsong era globalisasi ini.
Namun, setahun
pelaksanaan K-13 di beberapa sekolah sasaran menemui sejumlah kendala yang menjadi
catatan penting menuju implementasi K-13 yang akan diterapkan secara serempak di
semua jenjang sekolah di Indonesia mulai tahun ajaran 2014/2015. Catatan
refleksi selama setahun sebagai dasar evaluasi untuk pemerintah melakukan
langkah konstruktif demi kelancaran implementasi K-13 secara menyeluruh.
Seperti diketahui, ada sembilan
mata pelajaran wajib yang dipelajari oleh siswa SMA. Selain itu, ada empat mata
pelajaran pokok sesuai dengan bidang peminatannya dan dua mata pelajaran
pilihan di luar bidang peminatannya. Bidang ekstrakurikuler (ekskul), siswa
dapat memilih satu ekskul wajib kepramukaan dan beberapa ekskul pilihan.
Dalam catatan
penulis, setahun penerapan K-13 masih banyak kegagapan sekolah (khususnya tingkat
SMA) yang tampak dalam tataran aplikasi teknis di lapangan. Secara teknis,
kegagapan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama,
kesulitan sekolah mulai tampak pada penerimaan peserta didik baru yang harus
dijuruskan pada peminatan Matematika dan Ilmu-Ilmu Alam, peminatan Ilmu-Ilmu
Sosial atau peminatan Ilmu-Ilmu Bahasa dan Budaya. Setelah melalui serangkaian
tes akademik, wawancara, dan pengisian angket peminatan, kebanyakan siswa lebih
memilih pada peminatan Matematika dan Ilmu-Ilmu Alam. Akibatnya adalah
guru-guru MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) kelebihan jam mengajar
sementara guru kelompok IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) kekurangan jam mengajar.
Beban guru
yang melebihi dari 24 jam mengajar akan berdampak pada kurangnya kualitas
layanan guru kepada peserta didik baik secara individu maupun kelompok.
Sementara guru kelompok IPS yang kekurangan beban mengajar akan menjadi
persoalan dalam syarat penerima tunjangan sertifikasi.
Kedua, pemilihan
mata pelajaran (mapel) lintas minat. Masalah pelik bagi sekolah adalah ketika
peserta didik tersebar pada semua mapel lintas minat. Bagi sekolah dengan ruang
kelas yang minim tentu tidak dapat menampung rombongan belajar (rombel) setiap mapel
lintas minat. Sekolah dalam kondisi minim ruang kelas dan kekurangan guru biasanya
diantisipasi dengan cara pemilihan mapel lintas minat secara terbatas. Namun
cara ini membatasi hak peserta didik untuk memilih mapel yang sesuai dengan
minatnya.
Masalah lain
terkait dengan peserta didik pindahan. Pilihan mapel lintas minat yang tidak
sesuai dengan pilihan mapel di sekolah yang dituju dapat menimbulkan masalah
psikogis bagi siswa pindahan.
Ketiga,
banyak sekolah yang tidak siap memenuhi guru yang mengampu mapel Prakarya dan
Kewirausahaan. Keberatan pihak sekolah dalam menyediakan guru yang sesuai
dengan kompetensi menyebabkan pembelajaran mapel ini asal-asalan dan tidak
mengacu pada tujuan. Padahal mapel
Prakarya dan Kewirausahaan dilaksanakan sebagai pendidikan formal namun
mengharapkan tujuan akhir untuk menghasilkan kualitas manusia yang mempunyai
keterampilan ekonomis dan wawasan penciptaan berbasis pasar.
Keempat,
pelaksanaan
ekskul wajib pramuka terkendala pada ketersediaan pembina pramuka. Anggota
pramuka dalam jumlah besar membutuhkan pembina yang tidak sedikit. Rasio
pembina pramuka dan peserta didik (1 : 32) tidak dapat dipenuhi sekolah
disebabkan tidak semua guru memiliki kecakapan dalam bidang ini. Alhasil ekskul
ini berjalan apa adanya.
Disamping permasalahan kurangnya kompetensi guru di
dalam menerapkan metode pembelajaran dengan pendekatan sainstifik sebagai
akibat guru belum mengikuti sosialisasi dan pelatihan K-13, keempat
permasalahan kegagapan sekolah sasaran tidaklah dipandang sebagai persoalan
sederhana. Waktu yang relatif singkat menjelang implementasi K-13 memang
berpotensi munculnya berbagai kelemahan di sana-sini. Oleh karena itu, pihak
sekolah sudah mulai merancang persiapan matang yang diawali dengan perekrutan
peserta didik baru. Sistem penerimaan peserta didik baru harus disesuaikan dengan
daya tampung sekolah dan ketersediaan guru. Tidak kalah penting adalah pemenuhan
sarana dan prasarana sekolah karena turut menentukan keberhasilan implementasi
K-13.
Pelatihan guru yang saat ini sedang digelar oleh
pemerintah diharapkan bukan pelatihan yang sekedar menyelesaikan program kejar
tayang alias cepat selesai, tetapi menjadi sebuah pelatihan yang mampu mengubah
mindset guru dan sekaligus meningkatkan kompetensi guru sebagai tenaga profesional
di era global ini. Selepas mengikuti pelatihan guru harus mampu mendesiminasi
dan mentransfer ilmu yang sama kepada rekan sesama guru.
Akhirnya, implementasi K-13 yang dicanangkan
pemerintah secara serempak di seluruh sekolah pada tahun pelajaran 2014/2015 dapat
diwujudkan guna menyiapkan generasi emas tahun 2045.
Aris Arianto, dimuat di Radar Sulteng tgl 2 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar