Setahun lalu
seorang karib bercerita dengan penulis soal anaknya yang diterima di salah satu
SMA di Kota Palu. Ia mengeluhkan tentang anaknya yang sedang mengikuti masa
orientasi di sekolah baru. Katanya selama Masa Orientasi Siswa (MOS), anaknya
kerap diminta mengerjakan tugas-tugas “aneh” dari pihak sekolah. Sebagai orang
tua, iapun disibukkan dengan tugas “aneh” dari sekolah anaknya itu. Penulis pun
turut berpikir “aneh”. Istilah MOS telah mengalami perluasan makna konotatif,
Masa Orangtua Sibuk.
Cerita seorang teman di atas bukan
isapan jempol. Fakta di lapangan menunjukkan MOS dilaksanakan hanya sekedar
ritual rutin sebelum mereka memasuki arena belajar yang sesungguhnya. Sayangnya
ritual itu kadang mengarah pada perploncoan yang dibingkai dengan kekerasan,
baik kekerasan secara fisik maupun mental. Dalam praktiknya, para siswa baru
sering diminta oleh seniornya untuk menggunakan atribut yang aneh-aneh, seperti
topi bola, papan nama seukuran folio, kaus kaki belang-belang beda warna,
rambut dikuncir diikat dengan pita berbagai warna, membawa tas yang terbuat
dari karton atau karung goni, dan sebagainya. Tidak cukup dengan atribut aneh,
mereka pun diminta membawa makanan “langka”, seperti nasi hitam dengan ikan
teri tanpa bumbu, roti seharga Rp1255 dan sebagainya.
Ketika MOS berlangsung mereka kadang
disambut dengan teriakan bernada ejekan, umpatan, bahkan cacian bila sedikit
saja melakukan kesalahan. Bukankah cara ini mengarah pada aktivitas
perploncoan? Alasan kreatifitas, tanggungjawab, patuh, dan seterusnya kerap
menjadi pembenaran atas tindakan yang berlebihan dan kurang mendidik bagi
peserta MOS.
Perploncoan semacam ini secara
psikologis sering membawa dampak negatif seperti timbulnya sikap apatis, balas
dendam, dan efek traumatis lainnya. Bahkan perploncoan yang dibalut dengan
kekerasan dalam MOS kadang berujung maut.
Masih kental diingatan kita tentang
berita meninggalnya siswi SMKN 1 Pandak, Bantul-Yogyakarta, Anindya Ayu Puspita
saat mengikuti MOS tahun 2013. Hanya karena tidak memakai sepatu olah raga saat
latihan baris berbaris, Anindya dihukum oleh seniornya dengan skuat jump yang
akhirnya ia meregang nyawa.
Fokus
Afeksi Siswa
Pengembangan afeksi siswa di sekolah
dimulai dari proses rekruitmen calon siswa baru dan pelaksanaan MOS. Dua
kegiatan ini merupakan “pintu gerbang” mereka untuk belajar mengenal lingkungan
baru. Dari sinilah awal perubahan paradigma bersekolah mereka diproses. Kesan
positif atau negatif yang diperoleh di “pintu gerbang”, akan menentukan sikap
mereka selama belajar di lingkungan barunya.
Proses rekruitmen siswa baru seyogyanya
dilakukan dengan prinsip keadilan dan keterbukaan. Seleksi semata-mata
didasarkan pada kemampuan akademik siswa, bukan atas dasar kekuatan ekonomi
ataupun politik. Melalui proses rekruitmen yang adil dan terbuka, mereka
belajar tentang kejujuran, rasa ingin tahu, kreatifitas, dan menghargai
prestasi.
MOS
secara umum berfungsi untuk membantu perkembangan personal siswa agar mudah
menyesuaikan diri pada lingkungan baru. Desain pelaksanaan yang digagas dalam
tulisan ini mengacu pada karateristik Kurikulum 2013 (K-13). Salah satu karakteristik K-13
adalah mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spritual dan
sosial, rasa ingin tahu, kreatifitas, kerjasama dengan kemampuan intelektual
dan psikomotorik (Permendikbud Nomor 68 dan 69
Tahun 2013).
Pola
Integrasi
MOS
dirancang menjadi proses inisiasi siswa baru, yaitu mengenalkan, mendorong,
memotivasi, membangkitkan dan menanamkan rasa bangga bersekolah di sekolah
barunya. Gagasan MOS yang sesuai dengan amanat K-13 adalah dilakukan dengan pendekatan
yang lebih humanis, edukatif, penuh keceriaan dan kasih sayang.
Menurut hemat penulis, saatnya
memadukan kegiatan MOS dan kepramukaan dengan pola integrasi di lingkungan
sekolah. Kegiatan integrasi tamu ambalan (calon anggota pramuka) dalam kegiatan
MOS mungkin hal baru dalam sejarah MOS di Indonesia. Namun, kehadiran kurikulum
baru ini memberi peluang pengembangan pendidikan karakter yang terarah dan
berkelanjutan termasuk didalamnya adalah MOS.
Penulis menyebutnya “MOS Terintegrasi”.
Mengapa kepramukaan menjadi pilihan? Kepramukaan
sebagai ektrakurikuler (ekskul) wajib berarti “memaksa” semua siswa menjadi
anggota gerakan pramuka di gugus depan yang berbasis sekolah. Tidak mungkin
memadukan MOS dengan ekskul lainnya karena tidak mewajibkan siswa untuk masuk
sebagai anggota ekskul itu.
Selain itu, gerakan Pramuka merupakan
organisasi yang sudah mapan karena telah memiliki payung hukum, yakni
Undang-Undang nomor 12 Tahun 2010. Sistem pendidikan dalam kepramukaan memiliki
relevansi dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu membentuk setiap pramuka
agar memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa
patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur
bangsa, dan memiliki kecakapan hidup sebagai kader bangsa dalam menjaga dan
membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamalkan Pancasila, serta
melestarikan lingkungan hidup. Adanya relevansi dalam K-13 dengan sistem Pendidikan Kepramukaan inilah yang
berpotensi untuk dikembangkan dalam peningkatan kualitas MOS.
Desain integrasi kepramukaan ke dalam
aktivitas MOS harus disiapkan oleh pihak sekolah dengan melibatkan pengurus
OSIS, anggota pramuka, guru, dan pembina pramuka. Dalam penerapannya, siswa
baru tidak harus memakai seragam pramuka atau atribut pramuka. Nuansa
kepramukaan lebih terlihat pada aktifitas di luar kelas atau di alam terbuka,
seperti pada hari pertama MOS diawali dengan upacara pembukaan MOS dilanjutkan
dengan penyajian materi. Sebelum pulang, disediakan waktu 60 menit untuk latihan
baris berbaris, bermain semaphore, belajar
tali-temali dan lain-lain kemudian diakhiri dengan upacara penutupan latihan. Aktifitas yang sama dilanjutkan pada hari
kedua, akan tetapi diawali dengan upacara pembukaan versi pramuka sampai dengan
penutupan latihan versi pramuka. Begitu pula hari selanjutnya sampai selesainya
kegiatan MOS.
Materi atau bahan ajar MOS mengacu pada
kepentingan sekolah dan peserta didik baru. Biasanya berisi tentang visi misi
sekolah, wawasan kewiyatamandalaan, budaya sekolah, pengenalan tata tertib
sekolah, cara belajar efektif, dan lain-lain. Setiap materi MOS diintegrasikan
dengan dasa darma pramuka. Misalnya, membangun budaya sekolah diintegrasikan
dengan dasa darma keenam (disiplin, berani dan setia), pengenalan tata tertib
sekolah diintegrasikan dengan dasa darma kesembilan (bertanggungjawab dan dapat
dipercaya), dan seterusnya. Dalam penyampaian materi seyogyanya menjunjung
tinggi prinsip pembelajaran yang multidimensional, menyenangkan, mengasyikkan,
mencerdaskan, memenuhi kebutuhan dan memberi makna.
Kelebihan pola integrasi kepramukaan ke
dalam MOS dibandingkan dengan pola lama, adalah : (1) selain mengenal
lingkungan sekolah, peserta MOS memiliki keterampilan dasar dalam kepramukaan,
(2) MOS dengan pendekatan pendidikan kepramukaan terasa lebih humanis tanpa ada
benih-benih kekerasan di dalamnya, (3) materi MOS lebih mudah diserap karena
penyajiannya dalam suasana gembira dan menyenangkan.
Semoga, implementasi K-13 secara
serempak di seluruh sekolah pada tahun ajaran 2014/2015, menjadi momentum yang mengubah
wajah pendidikan nasional yang lebih bermartabat termasuk di dalamnya orientasi
MOS yang lebih beradab.
Aris Arianto, dimuat di Harian Mercusuar,
Jumat, 13 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar