19.6.14

Menggagas MOS Terintegrasi



     Setahun lalu seorang karib bercerita dengan penulis soal anaknya yang diterima di salah satu SMA di Kota Palu. Ia mengeluhkan tentang anaknya yang sedang mengikuti masa orientasi di sekolah baru. Katanya selama Masa Orientasi Siswa (MOS), anaknya kerap diminta mengerjakan tugas-tugas “aneh” dari pihak sekolah. Sebagai orang tua, iapun disibukkan dengan tugas “aneh” dari sekolah anaknya itu. Penulis pun turut berpikir “aneh”. Istilah MOS telah mengalami perluasan makna konotatif, Masa Orangtua Sibuk.


Cerita seorang teman di atas bukan isapan jempol. Fakta di lapangan menunjukkan MOS dilaksanakan hanya sekedar ritual rutin sebelum mereka memasuki arena belajar yang sesungguhnya. Sayangnya ritual itu kadang mengarah pada perploncoan yang dibingkai dengan kekerasan, baik kekerasan secara fisik maupun mental. Dalam praktiknya, para siswa baru sering diminta oleh seniornya untuk menggunakan atribut yang aneh-aneh, seperti topi bola, papan nama seukuran folio, kaus kaki belang-belang beda warna, rambut dikuncir diikat dengan pita berbagai warna, membawa tas yang terbuat dari karton atau karung goni, dan sebagainya. Tidak cukup dengan atribut aneh, mereka pun diminta membawa makanan “langka”, seperti nasi hitam dengan ikan teri tanpa bumbu, roti seharga Rp1255 dan sebagainya.
Ketika MOS berlangsung mereka kadang disambut dengan teriakan bernada ejekan, umpatan, bahkan cacian bila sedikit saja melakukan kesalahan. Bukankah cara ini mengarah pada aktivitas perploncoan? Alasan kreatifitas, tanggungjawab, patuh, dan seterusnya kerap menjadi pembenaran atas tindakan yang berlebihan dan kurang mendidik bagi peserta MOS.
Perploncoan semacam ini secara psikologis sering membawa dampak negatif seperti timbulnya sikap apatis, balas dendam, dan efek traumatis lainnya. Bahkan perploncoan yang dibalut dengan kekerasan dalam MOS kadang berujung maut.
Masih kental diingatan kita tentang berita meninggalnya siswi SMKN 1 Pandak, Bantul-Yogyakarta, Anindya Ayu Puspita saat mengikuti MOS tahun 2013. Hanya karena tidak memakai sepatu olah raga saat latihan baris berbaris, Anindya dihukum oleh seniornya dengan skuat jump yang akhirnya ia meregang nyawa.
Fokus Afeksi Siswa
Pengembangan afeksi siswa di sekolah dimulai dari proses rekruitmen calon siswa baru dan pelaksanaan MOS. Dua kegiatan ini merupakan “pintu gerbang” mereka untuk belajar mengenal lingkungan baru. Dari sinilah awal perubahan paradigma bersekolah mereka diproses. Kesan positif atau negatif yang diperoleh di “pintu gerbang”, akan menentukan sikap mereka selama belajar di lingkungan barunya.
Proses rekruitmen siswa baru seyogyanya dilakukan dengan prinsip keadilan dan keterbukaan. Seleksi semata-mata didasarkan pada kemampuan akademik siswa, bukan atas dasar kekuatan ekonomi ataupun politik. Melalui proses rekruitmen yang adil dan terbuka, mereka belajar tentang kejujuran, rasa ingin tahu, kreatifitas, dan menghargai prestasi.
          MOS secara umum berfungsi untuk membantu perkembangan personal siswa agar mudah menyesuaikan diri pada lingkungan baru. Desain pelaksanaan yang digagas dalam tulisan ini mengacu pada karateristik Kurikulum 2013 (K-13). Salah satu karakteristik K-13 adalah mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreatifitas, kerjasama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik (Permendikbud Nomor 68 dan 69 Tahun 2013).
Pola Integrasi
          MOS dirancang menjadi proses inisiasi siswa baru, yaitu mengenalkan, mendorong, memotivasi, membangkitkan dan menanamkan rasa bangga bersekolah di sekolah barunya. Gagasan MOS yang sesuai dengan amanat K-13 adalah dilakukan dengan pendekatan yang lebih humanis, edukatif, penuh keceriaan dan kasih sayang.
Menurut hemat penulis, saatnya memadukan kegiatan MOS dan kepramukaan dengan pola integrasi di lingkungan sekolah. Kegiatan integrasi tamu ambalan (calon anggota pramuka) dalam kegiatan MOS mungkin hal baru dalam sejarah MOS di Indonesia. Namun, kehadiran kurikulum baru ini memberi peluang pengembangan pendidikan karakter yang terarah dan berkelanjutan termasuk didalamnya adalah MOS.  Penulis menyebutnya “MOS Terintegrasi”.
Mengapa kepramukaan menjadi pilihan? Kepramukaan sebagai ektrakurikuler (ekskul) wajib berarti “memaksa” semua siswa menjadi anggota gerakan pramuka di gugus depan yang berbasis sekolah. Tidak mungkin memadukan MOS dengan ekskul lainnya karena tidak mewajibkan siswa untuk masuk sebagai anggota ekskul itu.
Selain itu, gerakan Pramuka merupakan organisasi yang sudah mapan karena telah memiliki payung hukum, yakni Undang-Undang nomor 12 Tahun 2010. Sistem pendidikan dalam kepramukaan memiliki relevansi dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu membentuk setiap pramuka agar memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin,  menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, dan memiliki kecakapan hidup sebagai kader bangsa dalam menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamalkan Pancasila, serta melestarikan lingkungan hidup. Adanya relevansi dalam K-13 dengan sistem Pendidikan Kepramukaan inilah yang berpotensi untuk dikembangkan dalam peningkatan kualitas MOS.
Desain integrasi kepramukaan ke dalam aktivitas MOS harus disiapkan oleh pihak sekolah dengan melibatkan pengurus OSIS, anggota pramuka, guru, dan pembina pramuka. Dalam penerapannya, siswa baru tidak harus memakai seragam pramuka atau atribut pramuka. Nuansa kepramukaan lebih terlihat pada aktifitas di luar kelas atau di alam terbuka, seperti pada hari pertama MOS diawali dengan upacara pembukaan MOS dilanjutkan dengan penyajian materi. Sebelum pulang, disediakan waktu 60 menit untuk latihan baris berbaris, bermain semaphore, belajar tali-temali dan lain-lain kemudian diakhiri dengan upacara penutupan latihan.  Aktifitas yang sama dilanjutkan pada hari kedua, akan tetapi diawali dengan upacara pembukaan versi pramuka sampai dengan penutupan latihan versi pramuka. Begitu pula hari selanjutnya sampai selesainya kegiatan MOS.
Materi atau bahan ajar MOS mengacu pada kepentingan sekolah dan peserta didik baru. Biasanya berisi tentang visi misi sekolah, wawasan kewiyatamandalaan, budaya sekolah, pengenalan tata tertib sekolah, cara belajar efektif, dan lain-lain. Setiap materi MOS diintegrasikan dengan dasa darma pramuka. Misalnya, membangun budaya sekolah diintegrasikan dengan dasa darma keenam (disiplin, berani dan setia), pengenalan tata tertib sekolah diintegrasikan dengan dasa darma kesembilan (bertanggungjawab dan dapat dipercaya), dan seterusnya. Dalam penyampaian materi seyogyanya menjunjung tinggi prinsip pembelajaran yang multidimensional, menyenangkan, mengasyikkan, mencerdaskan, memenuhi kebutuhan dan memberi makna.
Kelebihan pola integrasi kepramukaan ke dalam MOS dibandingkan dengan pola lama, adalah : (1) selain mengenal lingkungan sekolah, peserta MOS memiliki keterampilan dasar dalam kepramukaan, (2) MOS dengan pendekatan pendidikan kepramukaan terasa lebih humanis tanpa ada benih-benih kekerasan di dalamnya, (3) materi MOS lebih mudah diserap karena penyajiannya dalam suasana gembira dan menyenangkan.
Semoga, implementasi K-13 secara serempak di seluruh sekolah pada tahun ajaran 2014/2015, menjadi momentum yang mengubah wajah pendidikan nasional yang lebih bermartabat termasuk di dalamnya orientasi MOS yang lebih beradab.
Aris Arianto, dimuat di Harian Mercusuar,
Jumat, 13 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar