28.5.14

BRANDED SCHOOL



       Sabtu pagi 3 Mei 2014 di Lobi SMAN Madani Palu ramai dengan aktifitas calon siswa baru dan orang tua siswa untuk mendaftar. Terlihat beberapa langsung mengisi formulir di tempat pendaftaran. Tampak pula suami istri berkonsultasi dengan kepala sekolah terkait dengan persyaratan pendaftaran siswa baru. Masalahnya dokumen yang diminta pihak panitia tidak sesuai dengan syarat pendaftaran calon siswa di sekolah itu.
Setelah ditelusuri ternyata anaknya dari Footscray City College, sekolah setingkat SMP di Melbourne-Australia tidak memiliki raport seperti layaknya sekolah-sekolah di Indonesia. Hanya dengan bekal Surat Keterangan Pindah Sekolah dari Konsulat Jenderal RI dan transkrip nilai enam semester dari Footscray City College, suami istri tersebut mendaftarkan anaknya di SMAN Madani. Calon siswa tersebut sudah menempuh studi selama 3 tahun di Footscray City College tetapi pihak sekolah tidak menerbitkan Ijazah.
Melengkapi “Ijazah” (baca: transkrip nilai), pihak SMAN Madani menganjurkan agar melampirkan surat keterangan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk menambah legalitas dokumen “Ijazah”. Akhirnya siswa Footscray City College tersebut tercatat di buku panitia pendaftaran sebagai peserta seleksi calon siswa baru SMAN Madani sambil menunggu kelengkapan berkas lainnya.

Yang menarik perhatian penulis adalah dalam surat pindah diterangkan bahwa siswa tersebut pindah dari sekolah setingkat SMP ke jenjang SMA. Hal yang tidak pernah ditemui di sekolah-sekolah Indonesia.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari fenomena siswa “pindahan” di atas?
Pertama, untuk mendapatkan “Ijazah” tidak harus menempuh UN terlebih dahulu. “Ijazah” dalam bentuk lembaran transkrip nilai yang diperoleh siswa setiap semester lebih mendeskripsikan keadaan siswa sesungguhnya dibandingkan dengan selembar ijazah (lulus UN) yang hanya menggambarkan kompetensi kognisinya. Rekam jejak kemampuan siswa dapat dilacak dari transkrip nilai setiap semesternya.
Kedua, branded school merupakan alasan yang paling logis mengapa siswa dari luar khususnya Australia diterima tanpa persyaratan ketat di Indonesia. Sekolah di Australia secara umum diakui masyarakat kita karena dikelola secara profesional sehingga kualitasnya tidak diragukan. Label branded school layak disematkan pada sekolah-sekolah di Australia.
          Sistem pendidikan Australia berstandar tinggi dan diakui dunia internasional. Sekolah-sekolah di Australia mengembangkan keterampilan dan kepercayaan diri para siswanya. Pengembangan karakter (character building) dan kecerdasan emosi sangat ditekankan terutama dalam pendidikan dasar.
Memang ada ujian nasional seperti UN di Indonesia, yaitu tes standar nasional dikenal dengan istilah NAPLAN (National Assessment Program Literacy and Numeracy). NAPLAN dilakukan serentak di Australia untuk menguji kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Tes Nasional itu dilakukan sebagai persiapan memasuki tahun pendidikan ke-10 (setara dengan kelas X SMA).
Membangun Branded School
Apa dan bagaimana branded school itu? Istilah branded school mengacu pada kualitas pelayanan pendidikan. Sekolah berkualitas tidak lepas dari pencitraan positif sehingga menumbuhkan tingkat kepercayaan masyarakat. Namun sekolah berkualitas dalam pandangan masyarakat berbeda-beda. Ada sebagian yang menyatakan sekolah berkualitas itu gedungnya megah dan fasilitasnya memadai. Ada yang berpandangan sekolah berkualitas melakukan proses pembelajaran dengan suasana menyenangkan, tidak ada kekerasan dan kabar pelecehan seksual. Ada yang menganggap siswanya berprestasi baik tingkat lokal, nasional maupun internasional. Ada yang menilai dari sisi lulusannya banyak diterima di perguruan tinggi favorit, dan lain-lain.
Sejatinya branded school adalah jaminan kualitas sekolah. Ibarat telepon genggam, nama Samsung atau Nokia, jaminan kualitas. Begitu pula kalau kita mendengar kampus ITB, UI atau UGM. Kualitasnya tidak diragukan sehingga lulusannya pun dijamin berkualitas.
Menurut penulis, dalam membangun branded school, ada empat aspek yang menjadi prioritas penilaian masyarakat;
Pertama, aspek pembelajaran yang berhubungan langsung dengan kemampuan profesional guru dalam menyajikan pembelajaran yang berkualitas. Guru harus terus mengasah kemampuan mengajarnya agar dapat mendesain pembelajaran yang menarik sehingga siswa mudah memahami materi yang disampaikan. Kemampuan memilih media dan penguasaan teknologi serta penilaian turut menentukan kapabilitas guru dalam  mengajar.
Kedua, aspek ketersediaan fasilitas (sarana dan prasarana) sekolah. Fasiltas yang dimaksud adalah segala sesuatu yang mempermudah terselenggaranya  kegiatan pendidikan. Ketersediaan buku (perpustakaan), alat peraga, media komputer, akses internet, laboratorium, lapangan olah raga, ruang seni, dan lain-lain akan menentukan penilaian masyarakat tentang sekolah berkualitas atau tidak.
Ketiga, aspek layanan administrasi yang membantu kelancaran proses pendataan, proses surat menyurat dan pengarsipan/dokumentasi, keuangan dan pelaporan. Layanan administrasi yang dikelola secara transparan dapat membangun kepercayaan publik.
Keempat, aspek pemberdayaan alumni melalui organisasi ikatan alumni. Eksistensi alumni sangat menentukan penilaian masyarakat atas kualitas sekolah. Sekolah harus membangun kerja sama dengan organisasi alumni dalam hal pengembangan sekolah.
Semua aspek “pencitraan” di atas, selayaknya dipenuhi oleh sekolah untuk peningkatan kualitas. Jaminan kualitas inilah yang mencuri perhatian masyarakat untuk “memberi” label branded school. Di Kota Palu sudah ada sekolah branded. Sebutan sekolah “Berwawasan Lingkungan,” “Sekolah Religius,” “SMP Keterampilan,” atau sekolah dengan “Kelas Cerdas Istimewa”  identik dengan sekolah berkualitas dan menjadi pilihan utama calon siswa dan para orang tua.
Pertanyaannya adalah apakah semua sekolah di Indonesia bisa mencapai branded school? Seharusnya bisa!
Delapan standar pendidikan nasional harus dipenuhi pemerintah seperti tertuang dalam Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan termasuk di dalamnya adalah aspek ketersediaan fasilitas dengan standar sarana dan prasarana yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Diperkuat dengan Permendiknas nomor 24 tahun 2007, sekolah mesti “mendesak” pemerintah untuk memenuhi standar minimal sarana dan prasarana.
Tiga aspek lain, seperti aspek pembelajaran, layanan administrasi, dan pemberdayaan alumni tergantung perencanaan, kreatifitas dan komitmen warga sekolah untuk mewujudkannya.
Dimuat di Harian Radar Sulteng, 7-5-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar