Sabtu pagi 3 Mei 2014 di Lobi
SMAN Madani Palu ramai dengan aktifitas calon siswa baru dan orang tua siswa
untuk mendaftar. Terlihat beberapa langsung mengisi formulir di tempat
pendaftaran. Tampak pula suami istri berkonsultasi dengan kepala sekolah
terkait dengan persyaratan pendaftaran siswa baru. Masalahnya dokumen yang diminta
pihak panitia tidak sesuai dengan syarat pendaftaran calon siswa di sekolah itu.
Setelah
ditelusuri ternyata anaknya dari Footscray City College, sekolah setingkat SMP
di Melbourne-Australia tidak memiliki raport seperti layaknya sekolah-sekolah
di Indonesia. Hanya dengan bekal Surat Keterangan Pindah Sekolah dari Konsulat
Jenderal RI dan transkrip nilai enam semester dari Footscray City College, suami
istri tersebut mendaftarkan anaknya di SMAN Madani. Calon siswa tersebut sudah
menempuh studi selama 3 tahun di Footscray City College tetapi pihak sekolah tidak
menerbitkan Ijazah.
Melengkapi
“Ijazah” (baca: transkrip nilai), pihak SMAN Madani menganjurkan agar
melampirkan surat keterangan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
untuk menambah legalitas dokumen “Ijazah”. Akhirnya siswa Footscray City
College tersebut tercatat di buku panitia pendaftaran sebagai peserta seleksi
calon siswa baru SMAN Madani sambil menunggu kelengkapan berkas lainnya.
Yang menarik
perhatian penulis adalah dalam surat pindah diterangkan bahwa siswa tersebut
pindah dari sekolah setingkat SMP ke jenjang SMA. Hal yang tidak pernah ditemui
di sekolah-sekolah Indonesia.
Pelajaran apa
yang bisa dipetik dari fenomena siswa “pindahan” di atas?
Pertama,
untuk mendapatkan “Ijazah” tidak harus menempuh UN terlebih dahulu. “Ijazah”
dalam bentuk lembaran transkrip nilai yang diperoleh siswa setiap semester
lebih mendeskripsikan keadaan siswa sesungguhnya dibandingkan dengan selembar
ijazah (lulus UN) yang hanya menggambarkan kompetensi kognisinya. Rekam jejak
kemampuan siswa dapat dilacak dari transkrip nilai setiap semesternya.
Kedua,
branded school merupakan alasan yang
paling logis mengapa siswa dari luar khususnya Australia diterima tanpa
persyaratan ketat di Indonesia. Sekolah di Australia secara umum diakui masyarakat
kita karena dikelola secara profesional sehingga kualitasnya tidak diragukan.
Label branded school layak disematkan
pada sekolah-sekolah di Australia.
Sistem pendidikan Australia berstandar tinggi dan diakui dunia internasional. Sekolah-sekolah di Australia mengembangkan
keterampilan dan kepercayaan diri para siswanya. Pengembangan karakter (character building) dan kecerdasan emosi
sangat ditekankan terutama dalam pendidikan dasar.
Memang
ada ujian nasional seperti UN di Indonesia, yaitu tes standar nasional dikenal
dengan istilah NAPLAN (National
Assessment Program Literacy and Numeracy). NAPLAN dilakukan serentak di Australia untuk
menguji kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Tes
Nasional itu dilakukan sebagai
persiapan memasuki tahun pendidikan ke-10 (setara dengan kelas X SMA).
Membangun Branded School
Apa dan
bagaimana branded school itu? Istilah
branded school mengacu pada kualitas pelayanan
pendidikan. Sekolah berkualitas tidak lepas dari pencitraan positif sehingga menumbuhkan
tingkat kepercayaan masyarakat. Namun sekolah berkualitas dalam pandangan masyarakat
berbeda-beda. Ada sebagian yang menyatakan sekolah berkualitas itu gedungnya
megah dan fasilitasnya memadai. Ada yang berpandangan sekolah berkualitas
melakukan proses pembelajaran dengan suasana menyenangkan, tidak ada kekerasan
dan kabar pelecehan seksual. Ada yang menganggap siswanya berprestasi baik
tingkat lokal, nasional maupun internasional. Ada yang menilai dari sisi
lulusannya banyak diterima di perguruan tinggi favorit, dan lain-lain.
Sejatinya branded school adalah jaminan kualitas sekolah. Ibarat telepon
genggam, nama Samsung atau Nokia, jaminan kualitas. Begitu pula kalau kita
mendengar kampus ITB, UI atau UGM. Kualitasnya tidak diragukan sehingga
lulusannya pun dijamin berkualitas.
Menurut penulis, dalam membangun branded school, ada empat aspek yang
menjadi prioritas penilaian masyarakat;
Pertama, aspek pembelajaran yang
berhubungan langsung dengan kemampuan profesional guru dalam menyajikan
pembelajaran yang berkualitas. Guru harus terus mengasah kemampuan mengajarnya
agar dapat mendesain pembelajaran yang menarik sehingga siswa mudah memahami materi
yang disampaikan. Kemampuan memilih media dan penguasaan teknologi serta
penilaian turut menentukan kapabilitas guru dalam mengajar.
Kedua, aspek ketersediaan fasilitas
(sarana dan prasarana) sekolah. Fasiltas yang dimaksud adalah segala sesuatu
yang mempermudah terselenggaranya kegiatan pendidikan. Ketersediaan buku
(perpustakaan), alat peraga, media komputer, akses internet, laboratorium,
lapangan olah raga, ruang seni, dan lain-lain akan menentukan penilaian
masyarakat tentang sekolah berkualitas atau tidak.
Ketiga, aspek layanan administrasi yang
membantu kelancaran proses pendataan, proses surat menyurat dan
pengarsipan/dokumentasi, keuangan dan pelaporan. Layanan administrasi yang
dikelola secara transparan dapat membangun kepercayaan publik.
Keempat, aspek pemberdayaan alumni
melalui organisasi ikatan alumni. Eksistensi alumni sangat menentukan penilaian
masyarakat atas kualitas sekolah. Sekolah harus membangun kerja sama dengan
organisasi alumni dalam hal pengembangan sekolah.
Semua aspek “pencitraan” di atas,
selayaknya dipenuhi oleh sekolah untuk peningkatan kualitas. Jaminan kualitas
inilah yang mencuri perhatian masyarakat untuk “memberi” label branded school. Di Kota Palu sudah ada
sekolah branded. Sebutan sekolah
“Berwawasan Lingkungan,” “Sekolah Religius,” “SMP Keterampilan,” atau sekolah
dengan “Kelas Cerdas Istimewa” identik
dengan sekolah berkualitas dan menjadi pilihan utama calon siswa dan para orang
tua.
Pertanyaannya adalah apakah semua
sekolah di Indonesia bisa mencapai branded
school? Seharusnya bisa!
Delapan standar pendidikan nasional
harus dipenuhi pemerintah seperti tertuang dalam Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Pemerintah
nomor 32 tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan termasuk di dalamnya adalah aspek
ketersediaan fasilitas dengan standar sarana dan prasarana yang sudah
ditetapkan oleh pemerintah. Diperkuat dengan Permendiknas nomor 24 tahun 2007,
sekolah mesti “mendesak” pemerintah untuk memenuhi standar minimal sarana dan
prasarana.
Tiga aspek lain, seperti aspek
pembelajaran, layanan administrasi, dan pemberdayaan alumni tergantung perencanaan,
kreatifitas dan komitmen warga sekolah untuk mewujudkannya.
Dimuat di Harian Radar Sulteng, 7-5-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar